Selasa, 26 Mei 2009

Wibowo: Yeah, He's our Bimasena!

Entah sebuah kebetulan atau bukan, karakter bro saya yang satu ini memang mirip dengan Bimasena atau Werkudoro dalam pewayangan jawa. Mengingat kembali mata kuliah Filsafat Jawa saya dulu, tokoh Bima dalam pewayangan digambarkan berbadan tinggi besar dengan karakter pemberani, spontan, apa adanya dan cendrung meledak-ledak. Mirip dengan karakter dan postur Mas Bowo, tentunya tanpa embel2 sponsor kuku bima yang legendaris 'pancasona' :-)

Dari sekian banyak rekan, yang pertama langsung terekam dalam memori otak saya memang Mas Bowo. Postur tinggi besar dengan pandangan 'galak' dan 'menyelidik' pada saya yang waktu itu tengah menjalani interview [he3....peace pak!]. Semakin kenal, semakin meyakinkan saya memang karakternya mirip dengan Werkudoro [meski kalo urusan 'wadon' mungkin lebih mengarah ke Arjuna, wakakak....kidding lagi lo Pa].

Pribadi Bimasena yang blak-blakan, terbuka serta apa adanya, tergambar jelas dalam pribadi Mas Bowo. Ngga, percaya? Mbo yao sesekali mampir ke facebook beliau. Isi hati, isi kepala hingga isi perut (mungkin) tergambar gamblang-blang di sana:-). Sementara orang seperti saya hanya bisa mbatin atau misuh-misuh di belakang, Mas Bowo berani berteriak “ONANI ROHANI!” atau “B**I NGEPET!”. Dari perspektif manapun ini adalah sebuah gambaran kejujuran laku bagi orang-orang yang mencoba berjalan lurus tanpa harus cape mengenakan topeng. Bandingkan dengan Sengkuni-sengkuni yang gemar berganti wajah atau mencari muka. Meski...dalam politik, hal ini justru dapat menjadi bumerang bagi dirinya. Kalo dianalogikan sedang bermain kartu, pasti akan mudah mengetahui Mas Bowo sedang pegang 'joker' dari peringas-peringisnya...:-)

Tapi, saya yakin Mas Bowo tidak sedang bermain kartu atau berpolitk. Baginya nilai2 komitmen, memperjuangkan tim atau keluarga, jujur dalam loyalitas dan bersikap, merupakan nilai yang apa adanya alias 'dari sononya' [das sein]. Dia bukan Sengkuni yang pandai bermanis muka namun menusuk dari belakang. Profesional kerja baginya, mengambil istilah film Miyabi [sumpah, kalau yang satu ini saya dapat bukan dari mata kuliah Filsafat saya]: Sepi ing pamrih rame ing gawe...


Saya berharap...perpisahan Mas Bowo tidak saja menjadi jawaban bahwa 'Gusti Allah Ora Sare' saja. Mudah2an, seperti halnya Werkudoro, perjalanan ini sekaligus menjadi perjalanan bathin yang akan mentranformasi Bima menjadi Dewa Ruci. Dewa Ruci yang merupakan metamorfosis Bimasena yang tetap lantang menyuarakan kebenaran dengan lebih anggun, cantik dan arif. Pastinya, kita kini kehilangan sosok Bimasena di sini.

Mudah2an kelantangan itu tidak langsung berubah dengan kesunyian....


Sukses 'Pa...Gusti Allah Ora Sare ,'khan....

Selasa, 05 Mei 2009

LEADER-SHIT [2]: DAN PABRIK ITU SEDANG DIBANGUN....

Ijinkan saya menambahkan ciri pemimpin yang pernah saya sebutkan dalam blog saya yang lalu: penghubung sebuah 'tribes'. Pemimpin sejati tidak hanya menjadi sumber inspirasi dan anti status quo. Pemimpin sejati juga harus (sekali lagi) harus menjadi 'penghubung sebuah tribes'. Tribes berbeda dengan crowd. Tribes [he3, sorry saya harus menyombongkan diri telah membaca 'Tribes'nya Seth Godin] adalah orang2 yang terhubung satu sama lain: terhubung dengan pemimpin dan terhubung dengan ide yang sama. Jadi, kalo saya bekerja di sebuah sekolah maka 'tribe' saya adalah orang tua murid, siswa, guru, dan orang-orang terkait yang memiliki ide yang sama tentang sekolah yang baik/bermutu.

Masalahnya, pemimpin macam apa yang mampu menghubungkan itu?

BUKAN RAJA! Raja suka posisi yang nyaman dan mempertahankan stabilitas (pasti takut perubahan). CEO macam ini biasanya dikelilingi dengan dewan penasehat yang diberi makan dan gaji tinggi. He3, tentu saja mereka berusaha mempertahankan situasi macam ini. Lagi, raja menggunakan kekuasaan agar orang patuh kepadanya.

Monarki mengajarkan kekuasaan, pengaruh dan bagaimana menyelesaikan pekerjaan kita. Hal yang berbeda dengan modern marketing di mana dibutuhkan inovasi dan perubahan terus-menerus. Sumber perubahan? Suara customer tentu. Bukan penjilat. Bukan comfort zone. Marketing adalah tentang berelasi dengan tribe, untuk menemukan ide yang sama. Bukan menyodorkan ide yang kita punya...

BUKAN MANAJER! Manajemen adalah masalah manipulasi SDM untuk menyelesaikan pekerjaan. Karenanya CEO Burger King tau betul bagaimana mengelola proses seperti biasa dengan waktu yang lebih singkat dan biaya yang lebih rendah.

Manajer bicara tentang menciptakan produk biasa, sedangkan pemimpin bicara tentang menciptakan perubahan. Perubahan yang sering ditakuti oleh manajer karena merusak sistem yang ada. Kasihan manajer karena cuma punya karyawan. Sedangkan pemimpin punya pengikut (tribe). Pengikut yang meyakini bahwa apa yang mereka kerjakan lebih berharga daripada menerima gaji atau menunggu dipecat. Pengikut (bisa dibaca juga: Karyawan) bahkan bisa tetap loyal meski tidak gajian! Pengikut (bisa juga dibaca: calon OTM) yang rela membayar lebih mahal dari harga yang tercantum!

Kalau kita terjebak berakting sebagai manajer atau karyawan karena takut apa yang dikatakan bos atau takut mendapat masalah...sesungguhnya kita tidak sedang mengadakan perubahan. Seolah-olah kita sedang membuat tribe namun sesungguhnya sedang sibuk membangun sebuah pabrik...

Minggu, 03 Mei 2009

[buat yang masih cari Tantie di Stella Maris:]

“Selamat Siang, Dengan Tantie,
Ada Yang Bisa Saya Bantu...”


Entahlah, saya sudah lupa bagaimana kesan pertama saya tentang 'butet' yang satu ini. Sejauh yang saya ingat adalah aura 'rebellious' darinya. Bayangkan, bekerja di sekolah yang notabene dituntut keteladanan, Tantie tampil 'beda' dengan dandanan yang modis, sendal teplek, cardigan gaul, termasuk dengan kuku yang tak jarang dipolish hitam bak Avril....

Termasuk untuk urusan foto. Foto yang saya pasang di blog ini merupakan 'trademark'-nya Tantie. Yap, acungan 'peace' dekat pipi pasti banyak ditemui difoto-fotonya. Ga jelas apa maksudnya, apakah memang maksudnya ingin mengkampanyekan kedamaian dunia atau menutupi tembem pipinya [he3...'peace ya Tan...]. Sampai2 rekan2 PMB harus mengingatkannya untuk tidak 'peace' saat foto untuk lamaran kerja atau KTP. Jadi kalau dikemudian hari ditemukan foto2 yang diragukan ini Tantie atau bukan, lihat saja tangannya. Kalau tangannya 'peace' di pipi....pasti itu Tantie!

Namun, Tantie tetap saja Tantie yang senang membantu. Tiap kali PMB punya kesibukan, Tantie dengan ringan tangan memberikan bantuannya. Mulai dari sekadar melipat surat undangan, menjaga ruangan PMB ketika kami briefing pagi hingga memberikan ide-ide 'dahsyat' ketika PMB mentok ide. Bukan hanya PMB, kelompok 'super class' atau anak-anak dan guru eskul pasti sudah sering mengalami kebaikan hatinya. Keceriaannya turut memberi warna ceria di ruangan PMB. Tantie selalu menjadi 'kompor' PMB kalau mengadakan acara2 refresing. Mulai dari sekadar nyemil sore sampai karaoke, Butet satu ini yang jadi motornya [meski sampai sekarang saya masih penasaran, kayak apa sih Tantie kalo nyanyi...]. Satu2nya yang membuat Tantie tidak ceria hanyalah kalau harus menghadapi guru eskul yang tertunda pembayarannya....Sisanya, senyum abis meski gaul sama teman2 PMB yang sudah berkeluarga. “Diem tapi 'nyerep....” istilah bos saya.

Sekarang, Tantie sudah tidak lagi mengurus SMLC di Stella Maris BSD. Ruangan PMB tidak lagi sama seperti dulu. Tidak ada lagi yang bawain kacang ijo. Tidak ada lagi yang 'peace' kalau difoto. Tidak ada lagi yang bisa dititipi ruangan kalau PMB breafing. Tidak ada lagi ringtone yang berbunyi, “Maaf...”. Tidak ada lagi yang kelaperan kalau sore. Tidak ada lagi 'anak bawang' yang bisa diledekin, “Cie..Tantie”. Damn, i'll be miss all of them. Tapi yang penting, Tantie kini bisa tersenyum lebih manis dan ceria lagi. Kalau ingin menikmati keceriaanya, silahkan menabung di bank yang terkenal 'cape antri'. Kalau kalian disapa dengan tulus, senyum manis dan ramah,” Selamat siang, dengan Tantie ada yang bisa saya bantu...” Sudah pasti itu Tantie. [Dan, maaf, tentunya kali ini tanpa 'peace' di pipi karena pasti hal itu kini dilarang bos barunya].

Sukses ya Tan...